PEMBARUAN AGRARIA, APA KABAR

picture1

(Catatan reflektif memperingati 46 tahun UUPA 24 September 2006)

Pengelolaan pertanahan pada masa lalu (bahkan hingga sekarang) pada praktiknya belum mampu mewujudkan amanat Undang-undang (baca UUPA) yakni ‘Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebaliknya dalam banyak contoh kasus justru ‘benda-benda’ disebutkan diatas malah menjadi sumber pemiskinan dan kesengsaraan bagi sebagian masyarakat diberbagai wilayah republik ini.
Sejarah bangsa ini mencatat banyak permasalahan agraria dan konflik pertanahan yang terjadi, sebut saja beberapa contoh seperti penggundulan hutan yang merusak ekosistem alam hingga terjadinya bencana longsor dan banjir bandang, reklamasi pantai, alih fungsi hutan bakau, alih fungsi tanah pertanian menjadi daerah industri dan pemukiman, pembebasan tanah dan persoalan ganti rugi, tanah terlantar serta konflik konflik pertanahan menyangkut kepastian hukum hak atas tanah, dan lain sebaginya.
Pada masa lalu dimana pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas pembangunan, penyediaan tanah dalam sekala besar-besar untuk proyek-proyek pemerintah maupun swasta seperti lahan perkebunan, industri, pariwisata, dll menyisakan derita bagi tidak sedikit rakyat negeri ini karena mereka dengan terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka, ladang dan sawah sumber penghidupan mereka.
Dan atas nama peningkatan ekonomi rakyat pula, penyediaan tanah (katanya) untuk pembangunan justeru menjauhkan rakyat dari tanah mereka sendiri serta sering sekali menimbulkan konflik pertanahan, rakyat yang menguasai dan megolah tanah berada dipihak yang lemah dan dirugikan. Dipihak lain terdapat penguasaan tanah oleh badan hukum tertentu dan ataupun seseorang menguasai tanah dalam skala besar hanya dengan tujuan spekulasi dan kemudian menjualnya dengan harga tinggi atau menjadi tanah terlantar.

Tanah Terlantar
Suatu ironi yang mengiris hati, fakta bahwa begitu banyak dan luas bidang-bidang tanah di negeri ini yang dikuasai dan atau dimiliki badan-badan hukum maupun perseorangan, akan tetapi tanah-tanah tersebut tidak dikelola dan diterlantarkan. Sementara begitu banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap tanah dan tidak memiliki tanah. Berapa banyak kelompok masyarakat yang dikejar-kejar, diinterogasi dan dimasukkan ke tahanan hanya karena menggarap tanah-tanah yang diterlantarkan oleh pemiliknya?.
Pada kenyataannya tanah terlantar rentan menimbulkan permasalahan (sengketa) dibidang pertanahan. Tanah terlantar sering dianggap sebagian orang sebagai tanah tak bertuan sehingga digarap atau dikuasai. Penggarapan atau penguasaan tanah-tanah terlantar dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat siapa yang mempunyai tanah tersebut dan dapat juga karena unsur kesengajaan, dimana sekelompok masyarakat sebenarnya mengetahui jika tanah yang terlantar tersebut dipunyai orang atau badan hukum tertentu akan tetapi karena tidak dikelola dalam kurun waktu yang lama sehingga masyarakat dengan sengaja, biasanya secara beramai-ramai melakukan penggarapan atas tanah tersebut.
Sudah semestinya diterapkan sanksi yang tegas terhadap orang atau badan hukum yang memegang hak atas tanah atau menguasai tanah namun tidak memanfaatkan tanah itu sebagaimana mestinya. Karena Undang-undang menegaskan setiap pemegang hak tanah diwajibkan mengelola dan memelihara tanahnya. Atau pemerintah melakukan sutau pengaturan atau kebijakan atas tanah-tanah yang terlantar supaya dapat berhasil guna. Misalnya memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk mengelola atau berusaha diatas tanah itu, terutama terhadap orang-orang yang memang tidak memiliki tanah.
Kebijakan Pembaruan Agraria
Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) sering juga disebut Reforma Agraria adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam merubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk bentuk penguasaan tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Bonnie Setiawan, 2001).
Pembaruan Agraria sesungguhnya bukan hal baru dalam politik pertanahan Indonesia, namun pada masa lalu pelaksanaan pembaruan agraria mengalami pasang surut dan hasilnya belum seperti diharapkan, untuk tidak menyebut gagal. Pembaruan agraria kembali mengemuka sejak MPR RI menerbitkan Ketetapan nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 5 TAP MPR ini menyebut bahwa Arah Kebijakan Pembaruan Agraria, antara lain ‘Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat’
Dalam pemahaman awam, TAP MPR ini memerintahkan agar pemerintah dalam melaksanakan penataan tanah harus dengan asas yang berkeadilan serta memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, artinya penataan tanah di negeri ini harus berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas tanah, terciptanya suatu kondisi dimana masyarakat memperoleh akses yang luas untuk memperoleh hak atas tanah serta terciptanya jaminan kepastian hukum atas hak-hak tanah.
Lebih jauh bahkan ‘tanah’ yang dimiliki masyarakat mestinya dikelola sebagai modal ekonomi yang mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. ‘Tanah’ mestinya menjadi jaminan akan kelangsungan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk yang terakhir ini tentu saja kelompok masyarakat memerlukan bantuan dan pendampingan baik oleh pemerintah, pengusaha sebagai bapak angkat dan lembaga swadaya masyarakat. Bantuan bisa berupa modal, pelatihan, aspek manajemen dan teknologi disegala bidang yang bisa dikembangkan diatas tanah dimaksud, semisal pertanian, peternakan, perikanan dll.
Lima tahun sudah Pembaruan Agraria sejak TAP MPR IX, namun persoalan tanah (agraria) tetap saja terjadi disudut-sudut wilayah negeri ini, Masih terjadi penggusuran, tumpang tindih bukti pemilikan tanah, dan konflik-konflik pertanahan lainnya. Kebijaksanaan pembaruan agraria yang diusung oleh TAP MPR IX belum membawa perubahan yang signifikan terhadap pengelolaan dan penataan pertanahan begitu juga dalam hal penyelesaian konflik-konflik pertanahan.
Belum tercipta kondisi yang memungkinkan masyarakat secara mudah memenuhi kebutuhan dasarnya akan tanah dan belum ada jaminan hukum yang memastikan setiap orang berhak memperoleh sebidang tanah sekadar tempat mendirikan rumah ataupun tempat usaha menyabung hidup. Bahkan belum ada program-program nyata dari pemerintah yang bertujuan menciptakan peluang masyarakat bisa memperoleh bidang-bidang tanah.
Tanggal 24 September 2006, UUPA mencapai usianya ke 46 dan telah pula 5 tahun TAP MPR IX, maka pantas dikemukakan pertanyakan, adakah pemerintah memiliki keinginan dan komitmen yang sungguh-sungguh melakukan penataan penguasaan pemilikan dan pemamfaatan tanah sudah dikelola secara adil dengan mengutamakan kepentingan dan demi kesejahteraan masyarakat banyak ?.

Not: dimuat Harian Sijori Mandiri edisi 25 Sept 06 dan Batam Pos edisi 27 Sept 06.

Posted on 27 Februari 2009, in ARTIKEL. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar