TANAH ADAT DALAM UUPA

HAUMA

Konflik Agraria. Istilah ini muncul lagi dipenghujung tahun 2011. Rangkaian dua kata ini ‘seakan mewakili dan membungkus’ persoalan yang melatarbelakangi hilangnya belasan nyawa di Mesuji Sumatera Selatan, konflik lahan pertambangan yang berujung penembakan di pelabuhan Sape, Bima NTB, aksi jahit mulut di depan Gedung DPR RI yang dilakukan warga Pulau Padang, Kepulauan Meranti Riau terkait persoalan tanah dengan PT. RAPP sebuah industri bubur kertas di Riau. Sebelumnya ada kasus Desa Purba Tua dan Hutaginjang di Barus Sumatera Utara, kasus Meruya di Jakarta, kasus Desa Plago Pasuruan Jawa Timur, dan masih banyak lagi permasalahan pertanahan antara kelompok masyarakat, masyarakat petani dengan perusahaan pemilik modal dan ada juga dengan instansi negara seperti kelompok masyarakat dengan TNI.

Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 yang menjadi dasar pengaturan pertanahan di Indonesia secara eksplisit mengakui eksistensi hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat (Pasal 3), juga mengakui hak-hak seperti hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druve desa, pesini, grant sultan, landerijenbezitsrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikulir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, menjadi hak milik (Pasal II Ketentuan Konversi) serta hak gogolan, pekulen atau sanggam yang bersifat tetap menjadi hak milik (Pasal VII Ketentuan Konversi);

Terjadinya Hak Milik Tanah Adat

B. Ter Haar Bzn, menggambarkan hak milik  terjadi bilamana seorang anggota masyarakat menaruh hubungan perseorangan atas pekarangan atau ladang, ialah berdasarkan azas “beschikkingrecht” yang ikut mendukungnya, maka dalam pokoknya haknya itu disebut hak milik (inlands bezitsrecht), walaupun lamanya ia menaruh hubungannya itu praktis tak lebih dari satu atau dua tahun panenan (1985:90). Erman Rajagukguk mengatakan  lahirnya hak milik pribadi atas tanah berawal dari tanah yang digarap secara bersama oleh sekelompok masyarakat (1995:84).

Penjelasan Pasal 22 UUPA menyebutkan cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah.  Pasal 16 UUPA menyebut tentang jenis-jenis hak atas tanah, dan salah satunya adalah hak membuka tanah, artinya hak membuka tanah adalah merupakan salah satu hak atas tanah.

Hal membuka tanah tersebut “pernah” diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah dengan sebutan “ijin membuka tanah”. Menurut PMDN ini ijin membuka tanah diberikan kewenangan kepada Gubernur yang luas tanahnya di atas 10 Ha tetapi tidak melebihi 50 Ha, kepada Bupati/Walikota jika luas tanahnya lebih dari 2 Ha tetapi tidak lebih dari 10 Ha, dan Kepala Kecamatan jika luas tanahnya tidak lebih dari 2 Ha.

PMDN ini dinyatakan tidak berlaku dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999. Dengan pencabutan PMDN ini, maka tidak ada lagi peraturan yang mengatur tentang “hak atau ijin membuka tanah”. Pertanyaannya adalah apakah masih ada dasar (masih boleh) membuka tanah dengan obyek tanah negara setelah PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tidak berlaku?.  Dengan kembali ke UUPA khususnya Pasal 22 hak membuka tanah masih dimungkinkan sebagimana pendapat Oloan Sitorus (2006:100) menyebutkan selama Pasal 22 UUPA masih ada, maka terjadinya hak milik karena hukum adat masih tetap dimungkinkan. Terjadinya hak milik karena hukum adat masih merupakan “hak normatif” dari Warga Negara Indonesia.

 

Pengelolaan Pertanahan

Hingga saat ini pengelolaan pertanahan belum menunjukkan hasil yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat banyak. Padahal Konstitusi Negara RI mengamantkan bahwa “Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).  Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam kenyataannya tidak menunjukkan peran optimal dalam hal managerial pertanahan yaitu lembaga yang mengatur perencanaan penggunaan dan peruntukan tanah, bahkan yang lebih menonjol adalah BPN merupakan sebuah lembaga legalisasi pertanahan, “tukang membuat sertipikat tanah”.

Kasus-kasus pertanahan yang muncul ditengah masyarakat seperti disebutkan diawal tulisan ini menunjukkan wajah pengelolaan pertanahan di negeri ini tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, tidak memberi jaminan keberlangsungan sistem produksi rakyat setempat serta tidak sejalan dengan butir tiga Sebelas Agenda BPN RI yang berbunyi ‘Memastikan Penguatan Hak-Hak Rakyat Atas Tanah’. Serta tidak sesuai dengan Tap MPR nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Terdapat tiga hal penting yang hendak dicapai pembaruan agraria yakni (1) tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, (2) adanya jaminan kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan masyarakat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya dan (3) terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka.

 

Tanda Bukti Surat

Bila anda menguasai sebidang tanah dan kemudian ada niat mengurus sertipikat (mendaftarkan hak) tanah di Kantor Pertanahan (BPN), pertanyaan pertama yang anda terima dari petugas BPN yaitu ‘apakah sudah ada surat tanahnya?’ maksudnya adalah surat bukti menguasai tanah yang diterbitkan ditingkat desa/kelurahan, penghulu dan camat yang populer dengan sebutan girik, SKT, SKGR dll (sesuai wilayah).

Demikian halnya ketika tanah yang anda kuasai dan kelola selama puluhan tahun, atau bahkan sudah secara turun temurun diwariskan tetapi belum pernah dibuatkan surat atas tanah tersebut. Ketika ada pihak lain mengaku tanah tersebut adalah miliknya dan menunjukkan surat atas tanah tersebut atau sebuah perusahaan  menunjukkan sertipikat Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan dimana tanah yang anda kuasai dan kelola selama ini masuk dalam peta lokasi HGU/HGB tadi. Saat anda melapor kelembaga-lembaga yang menurut anda akan bisa membantu seperti Kepala Desa, Lurah, Camat, BPN, dan DPR bahkan lembaga peradilan, maka pertanyaan yang sama akan muncul ‘surat tanah anda mana, atau apakah anda bisa menunjukkan surat yang membuktikan bahwa bidang tanah tersebut milik anda?’ Tidak perduli walaupun pemegang HGU/HGB tersebut datang dari luar Provinsi letak tanah dan sertipikatnya diterbitkan 2 hari yang lalu.

Mengapa hal ini terjadi? Bukankah dalam pendaftaran tanah, UUPA mengenal lembaga pengakuan hak?. Bukankah dalam penguasaan pemilikan tanah, UUPA mengakui hak adat, hak ulayat dan hak-hak dimaksud dalam ketentuan konversi serta hak dimaksud dengan Pasal 22 UUPA?. Melaksanakan nilai-nilai yang dikandung UUPA secara konsisten dalam praktek pertanahan di Indonesia, akan menjamin terlindunginya hak-hak rakyat desa, rakyat petani atas tanahnya, sumber penghidupannya, walaupun mereka tidak bisa membuat surat tanahnya tidak mampu mengurus sertipikat tanahnya ke BPN.

Penutup

Belajar dari kasus-kasus pertanahan yang terjadi, pada akhir tulisan ini mengutip pendapat Mr. B. Ter Haar Bzn, seorang ahli hukum adat Indonesia yang berkebangsaan Belanda, menggambarkan hubungan hidup antara umat manusia dengan tanah, mengatakan: “Diatas tanah mereka berdiam, tanah memberi makan mereka, dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, meresap daya hidup mereka dan karenanya tergantung daripadanya, maka pertalian demikian itu dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya ‘serba berpasangan’  (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat manusia terhadap tanah (1985:71)

*Dipublikasikan di kolom opini,

Harian Metro Riau Pekanbaru

Edisi 5 dan 6 Januari 2012

dengan judul “UUPA dan KASUS MESUJI”.

Posted on 10 Januari 2012, in ARTIKEL. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar