T A N A H

Tanah Pantai

Tanah Pantai

TANAH adalah (1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; (2). Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa atau yang diperintah sesuatu negara; benua atau daerah negara. (3). Bahan-bahan bumi atau bumi sebagai bahan sesuatu (seperti pasir, napal, cadas dan sebagainya) (Kamus Umum Bahasa Indonesia; W.J.S. Poerwadarminta, 1982). Pengertian diatas tidak menjelaskan hubungan tanah dengan manusia atau pengaruh tanah terhadap perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal tanah muncul pertanyaan yang relevan pada jaman sekarang ini antara lain kenapa ada orang mati, dibunuh, membunuh dan dipenjara karena tanah. Kenapa ada orang yang digusur atau rumah di buldozer dari atas sebidang tanah. Perilaku manusia atas tanah memang unik dan membicarakan tanah selalu menarik perhatian.

B. Ter Haar Bzn seorang ahli dalam hukum adat menggambarkan pentingnya arti tanah bagi manusia bahkan setelah manusia itu wafat. Tanah tempat manusia berdiam, tanah memberi manusia makan, di dalam tanah manusia dimakamkan dan yang menjadi tempat arwah leluhur manusia. Tanah meresap daya hidup, berakar dalam pikirannya dan karenanya hidup manusia tergantung pada tanah (Ter Haar, 1985).

Begitu berartinya tanah untuk kelangsungan hidup manusia dan bahkan untuk perluasaan usahanya atau kerajaan (bisnis) nya. Semakin banyak manusia mendiami suatu wilayah atau semakin berkembang suatu daerah maka kebutuhan akan tanah meningkat serta harga tanahpun semakin tinggi. Di jaman modern seperti sekarang, tanah tidak lagi sekadar tempat mendirikan rumah dan bercocok tanam atau berburu seperti yang dilakoni manusia zaman pra sejarah. Tetapi tanah sudah menjadi ‘komoditi dagangan’ yang senantiasa diburu, dikejar, dikuasai dan bahkan diserobot.

Tanah telah berkembang menjadi salah satu simbol kekayaan atau kekuasaan. Dengan memiliki tanah yang luas seseorang secara sosiologis ditempatkan pada status sosial tertentu dalam strata masyarakat. Karena pentingnya benda tak bergerak ini negara (baca pemerintah) berusaha mengatur peruntukan dan penggunaan tanah antara lain dengan konsep Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi dan Kabupaten/Kota. Konsep RTRW bertujuan mengatur penggunaan suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan dan sifat tanah sehingga pengembangan pembangunan suatu wilayah terencana dan terarah dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Dengan terjaganya ekosistem diharapkan tidak terjadi banjir, kekeringan dan kerusakan lingkungan serta untuk mencegah dampak rumah kaca.

Pembangunan memang membutuhkan tanah sebagai tempat melakukan aktifitas ekonomi mulai dari yang kecil sampai yang besar seperti misalnya kawasan industri, perkebunan, pariwisata dan pemukiman. Ironisnya dalam pelaksanaannya tidak jarang menimbulkan ekses yang merugikan penduduk tempatan yang nota bene masyarakat ekonomi lemah. Tanah mereka masuk dalam lokasi yang direncanakan untuk kegiatan pembangunan sehingga mereka harus hengkang meninggalkan tanahnya. Yang juga berarti mereka harus pula memutuskan hubungan dengan tanah yang sejak lama mereka diami sekaligus juga merupakan sumber penghidupannya. Disisi lain pembebasan tanah seringkali melibatkan pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi atau calo bahkan pada masa lalu tidak jarang menggunakan tenaga preman atau aparat untuk menakut-nakuti bahkan melakukan teror terhadap masyarakat yang menguasai tanah supaya segera melepaskan haknya atas tanahnya kepada pengusaha yang membutuhkan tanah untuk kepentingan bisnis.

Kebutuhan akan tanah telah menciptakan kepentingan diseputar tanah terus meningkat dengan berbagai modus dalam memperolehnya mulai dari yang sederhana, sah secara hukum sampai yang rumit bahkan disebut ada ‘mafia tanah’ atau meminjam istilah Ir. Soni Harsono (mantan Meneg. Agraria/Kepala BPN) ‘Bandit Tanah’. Bandit tanah datang dari berbagai lapisan dan profesi, masyarakat biasa sampai kalangan berdasi. Mafia tanah ada dimana-mana dan mampu membangun akses disemua lini yang berhubungan dengan tanah, birokrasi dan kekuasaan. Keberadaan mafia tanah sejak lama diketahui banyak menimbulkan dampak negatif dibidang pertanahan. Ironisnya mafia tanah tidak pernah dapat dihilangkan bahkan sebaliknya makin banyak jumlahnya serta semakin sulit diberantas. Lebih dari sekedar calo, mafia tanah bahkan mampu membuat sertipikat tanah palsu dan sertipikat ganda. Tentang sertipikat palsu, Kepala BPN Ir. Soni Harsono dalam acara dengar pendapat dengan DPR RI tanggal 23 Pebruari 1989 menyatakan telah menemukan 1.100 sertipikat palsu di wilayah Jakarta dan Bekasi (Tempo, 1 April 1989). Berapa banyak pula yang belum ditemukan di seluruh Indonesia. Tentu sebuah angka yang fantastis.

Tidak mengherankan jika dewasa ini kasus pertanahan muncul hampir di semua daerah dan memiliki jumlah yang tidak sedikit. Perbuatan mafia tanah menambah tumpukan kasus di bidang pertanahan yang memang banyak terjadi karena berbagai faktor lain.
Manusia dengan tanah diyakini memiliki hubungan magis religius. Tetapi pasti bukan karena faktor itu sehingga banyak terjadi manipulasi dan spekulasi di bidang pertanahan. Barangkali benar apa yang dikatakan Ter Haar bahwa tanah meresap daya hidup manusia , berakar dalam pikiran manuasi dan karenanya hidup manusia tergantung pada tanah.

Tanah oh …….. tanah !!!

Posted on 5 April 2009, in ARTIKEL. Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Tulisan yang sangat informatif.Saya mohon ijin penulis untuk memposting ulang tulisan ini di blog PROTAPANULI

Tinggalkan komentar