KONSEP PEMILIKAN TANAH MENURUT UUPA

dsc02117

Marbabo di hauma

Dalam sejarahnya Konsep Pemilikan Tanah (KPT) mengalami perubahan. Pada masa jumlah penduduk masih sedikit tanah hanyalah sekadar komoditi yang diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan individu dan kelompok dan tidak diperjualbelikan, masa seperti ini dikenal dengan land as commodity.


Kemudian dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin besar sedangkan jumlah tanah tidak bertambah, maka tanah mulai diperjualbelikan. Ada penawaran dan permintaan. KPT pun berubah dari konsep land as commodity menjadi konsep land as property. Jual beli tanah tersebut kemudian menimbulkan polarisasi pemilikan tanah. KPT dari segi hak atas tanahpun juga mengalami perubahan. Semula hak atas tanah bersifat mutlak, pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan, tidak menggunakan bahkan menyalahgunakan dan merusak. Terjadinya polarisasi kepemilikan tanah dan pemilikan tanah dengan hak yang mutlak tersebut berpotensi untuk mengahambat jalannya pembangunan.
Untuk dapat berjalannya pembangunan, lalu pemerintah mengatur dan mengendalikan pemilikan dengan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap fungsi dan hak atas tanah antara lain ada larangan luas tanah sawah yang dimiliki seseorang melebihi luas maksimum yang ditentukan, larangan pembangunan perumahan diatas tanah berirgasi teknis atau tanah subur. Dari segi penggunaan hak atas tanahpun dibatasi. Seseorang pemegang hak milik atas tanah dapat menikmati dan berbuat bebas terhadap tanahnya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang serta tidak mengganggu hak orang lain. Bahkan hak itu dapat dicabut demi kepentingan umum. Pada keadaan demikian KPT berubah dari land as property menjadi land as social property.

Undang-Undang Pokok Agraria

KPT hukum tanah nasional terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 Tahun 1960 yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Sebagai hukum prodruk nasional, UUPA merupakan hukum terpenting mengenai tanah di Indonesia dan dengan berlakunya UUPA maka tidak adalagi dualisme hukum tanah di Indonesia dimana dengan UUPA hukum agraria Belanda (Agrarische Wet,1870) tidak berlaku lagi.
UUPA bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan nasional Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal kepemilikan tanah, konsepsi hukum tanah nasional menyatakan tanah diseluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, karenannya tidak dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan, tidak boleh dijadikan objek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi bangsa.
Pada tingkatan tertinggi tanah dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 UUPA). Artinya negara hanya sebagai ‘penguasa’ bukan ‘pemilik’ yang berkewenangan mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah; mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara subjek hukum dengan tanah.
Bumi, air dan ruang angkasa adalah hak dari Bangsa Indonesia, Namun demikian tidak berarti bahwa hak milik perorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan. Perseorangan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dapat mempunyai hak milik atas tanah. Tanah dalam arti sempit adalah permukaan bumi saja, yang diartikan sebagai benda yang menjadi objek hak. Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.
Hak atas tanah yang dipunyai perseorangan dan badan hukum sifatnya tidak mutlak. Dalam penggunaanya dibatasi tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang serta tidak mengganggu hak orang lain. Ditegaskan pula bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 5 UUPA). Artinya bahwa hak seseorang atas tanah dapat dibebaskan/dilepaskan demi untuk kepentingan umum dengan diberikan ganti kerugian (Kepres 55/1993) dan bahkan demi kepentingan umum pemerintah dapat mencabut kepemilikan tanah seseorang (pasal 18 UUPA). Dengan demikian jelas KPT hukum tanah nasional Indonesia adalah konsep land as social property.

Pembangunan Nasional
KPT berkaitan erat terhadap lancarnya pembangunan disuatu negara. Oleh karenanya pemerintah berkepentingan untuk mengatur penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah.
Keberhasilan pembangunan nasional amat tergantung pada keberhasilan pengelolaan pertanahan, khususnya pada kelancaran penyediaan tanah. Penyediaan tanah lancar apabila lokasi yang dibutuhkan sesuai serta proses perolehannya lancar dan harga ganti ruginya wajar.
Dewasa ini kondisi seperti itu sulit ditemukan oleh karena banyak tanah dibebaskan dengan cara dan harga yang tidak wajar, sehingga dikemudian hari menimbulkan permasalahan. Dipihak lain ada pembebasan tanah dilakukan tidak diikuti kegiatan pembangunan, setelah dibebaskan tanah dibiarkan terlantar lalu kemudian dijual setelah harga tanah mahal.
Banyak upaya telah dilakukan untuk menanggulangi hambatan tersebut baik secara teknis maupun juridis, namun tampaknya kurang memadai. Yang diperlukan sekarang adalah ketegasan dan konsistensi pemerintah untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ada kepada mereka yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar peraturan perundangan, khususnya dalam hal pembebasan dan pemanfaatan tanah yang telah dibebaskan. ***

Catatan: Dipublikasikan pada Harian Sijori Mandiri edisi Rabu, 27 Juni 2001

Posted on 4 April 2009, in ARTIKEL. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar