TANAH DAN PELUANG INVESTASI DI TAPANULI

TANAH adalah modal. Bisa dipastikan seluruh aktifitas kehidupan berkaitan dengan tanah. Sejak lahir manusia membutuhkan tanah, hingga setelah wafat tetap memerlukan tanah. Demikian pentingnya tanah dan karena itu tanah mengandung aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi dan aspek politik. Dalam tulisan ini membicarakan secara terbatas tentang tanah di Tapanuli, bagaimana mengelolanya menjadi potensi yang mampu menarik investor menanamkan modalnya di tanah Tapanuli dan dengan demikian tanah dapat berfungsi maksimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Tapanuli.

 Tanah di Tapanuli

 Tapanuli terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Utara dan disebut sebagai ‘Zone Bukit Barisan’ berada pada ketinggian 500 m – 1400 m di atas permukaan laut. Topografinya bergelombang sampai curam, kemiringan tanah antara 15-40º. Penggunaan tanah masih di dominasi oleh hutan, alang-alang dan daerah gundul. Sedangkan penguasaan tanah, khusus tanah-tanah hutan dan padang ilalang masih di dominasi tanah ripe-ripe, tanah marga, tanah ulayat. Didaerah persawahan, perkebunan palawija dan pemukiman di dominasi kepemilikan perorangan dan keluarga (bukan marga). Perkebunan sawit dan teh yang dikelola badan usaha merupakan tanah hak guna usaha.

 Tanah untuk peningkatan investasi

Sejak sistem pemerintahan Indonesia menganut otonomi daerah maka Pemerintahan Provinsi terutama Pemerintahan Kabupaten/Kota dituntut mampu menggali potensi daerahnya untuk membiayai pembangunan daerah dan pembangunan masyarakatnya. Tanah merupakan salah satu modal yang memiliki peran strategis dalam menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah. Lalu bagaimana supaya investor tertarik membuka usaha di Tapanuli dalam hubungannya dengan tanah?. Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan Pemerintah Dearah terhadap tanah di Tapanuli guna menarik investor?. Beberapa hal dapat dikemukakan sebagai berikut:

 1. Peta Ketersediaan Tanah

 Pemda dari awal (sekarang pun boleh juga) mesti menyiapkan data base data ketesediaan tanah. Data ketersediaan tanah dimaksud memuat informasi yang lengkap menyangkut topografi, kemampuan, penggunaan, dan penguasaan tanah, dan lain-lain informasi yang perlu. Banyak sekali kejadian seorang investor mendatangi suatu kantor pemerintahan menyatakan niatnya berinvestasi di wilayah yang didatanginya dengan komoditi tertentu, kemudian bertanya kepada pejabat pemerintah di lokasi mana dia boleh menanam investasinya, tetapi si pejabat tidak dapat menyajikan data lengkap tentang kebutuhan investor tersebut.

Data-data dibawah ini mutlak tersedia baik data tekstual dan data spasial, dan pada jaman sekarang tentu lebih modern jika penyajiannya secara fisual atau bahkan ’nongol di dunia maya’, yaitu:

  • Luas tanah yang tersedia
  • Kemampuan tanah yang tersedia sering juga disebut potensi tanah (kaitannya dengan jenis komoditi, jenis usaha)
  • Penggunaan tanah existing
  • Penguasaan tanah
  • Status tanah dan
  • Harga tanah.

 2. Rencana Tata Ruang WilayahKec. Silaen

Ini penting. Disamping bertujuan penataan kota dalam arti zonasi penggunaan wilayah juga mempermudah serta untuk kenyamanan (dalam pengertian ’tidak melanggar aturan main’) seseorang atau suatu badan hukum berinvestasi. Karena dengan UU nomor 26 tahun 2007 melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan perbuatan yang dapat di pidana. Maka sekali lagi, dari awal Pemerintahan Daerah mau tidak mau harus memprioritaskan penyusunan RTRW artinya sampai Peraturan Daerah tentang RTRW dicatatkan dalam Lembaran Negara.

 3. Kepastian Hukum

Praktek hukum pertanahan di Indonesia boleh di bilang unik. Bagaimana tidak di katakan unik, Undang-Undang menyatakan sertipikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan yang sah dan berkekuatan hukum. Lebih jauh sertipikat hak atas tanah merupakan satu-satunya bukti hak yang dikeluarkan dan diakui oleh negara. Tetapi pada kenyataannya banyak kasus dimana pengusaha yang telah membeli tanah, memperoleh sertipikat hak tanah yang dikeluarkan pemerintah, membangun usaha diatas tanah itu dengan semua perijinan dilengkapi, namun kemudian sekelompok masyarakat datang mengaku bahwa tanah itu adalah tanah mereka sejak nenek moyang, atau bahkan mereka bisa menunjukkan surat bukti pemilikan tanah dari yang bukan sertipikat bahkan (kadang) juga sertipikat. Kepastian hukum di bidang pertanahan mutlak diperlukan sebagai jaminan kelancaran dan ketenangan menjalankan usaha. Apabila persoalan-persoalan pertanahan dapat ditata dan diatur, maka telah memberi ruang kondusif untuk peluang berivestasi. Jika tidak ada jaminan dan kepastian hukum di bidang pertanahan, maka sangat sulit meyakinkan pengusaha menanamkan modalnya di Tapanuli.

 4. Tanah Marga/Ulayat

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 Tahun 1960, Tanah di wilayah Negara Indonesia di klasifikasi menjadi TANAH NEGARA dan BUKAN TANAH NEGARA. Tanah negara adalah bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya (belum bersertipikat), sebaliknya bukan tanah negara yaitu bidang-bidang tanah yang dikuasai berdasarkan suatu hak atas tanah (sudah bersertipikat) baik oleh perorangan maupun badan hukum.

Itu menurut hukum. Kenyataannya, tidak banyak yang faham maksudnya. Barangkali kalau ditanya bidang-bidang tanah di Tapanuli siapa yang punya, maka jawabanya adalah itu tanah marga Silaen, tanah marga Simbolon, tanah marga Bakkara, dan marga-marga lain. Walaupun sesuai UUPA diatas, marga-marga tadi tak pernah memiliki surat tanah apalagi sertipikat hak atas tanah, bahkan tidak tahu batas-batas tanahnya secara tepat dan berapa luasnya. Tetapi sekali lagi itu tanah ‘kami’, tanah ‘Pomparan Oppu Banggal Silaen’ tanah ulayat marga Silaen: Siapa bilang tanah negara? Itu tanah kami. Titik. Hak Ulayat dalam UUPA diakui eksistensinya sepanjang pada kenyataannya masih ada. Dikatakan ‘ada’ apabila terdapat suatu masyarakat adat, ada pemimpinnya, tanah dimilki secara bersama (komunal) oleh masyarakat adat, dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, tidak mengenal kepemilikan perorangan.

Kita tinggalkan soal status tanah itu, dapat dibicarakan lebih intens pada kesempatan berikutnya. Lalu pertanyaannya, mau diapakan tanah-tanah marga yang sangat luas itu?. Bukankah selama ratusan tahun tanah itu tidak ’produktif’? Kini saatnya semua berfikir u ntuk memaksimalkan fungsi tanah tersebut untuk pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Tapanuli. Masih ingat pada tahun 1980-an era orde baru bahwa Tapanuli masuk zona ’Daerah Miskin” dengan tanah yang begitu luas tetapi tidak sampai 15 % yang dikelola. Lalu digagas konsep ’Marsipature huta na be’, sekarang tak pernah dengar lagi konsep itu.Kembali ke laptop, eh ke tanah. Dengan menyadari hubungan orang dengan tanah yang bersifat sakral maka diakui tidak mudah merobah pandangan seseorang tentang status dan fungsi tanah. Sehingga perlu upaya serius terutama Pemerintah Daerah di wilayah Tapanuli dan stake holders lainnya, supaya masalah status tanah ’marga’ tidak menjadi hambatan dalam menarik investor ke Tapanuli.

 Penutup

Tentu saja masih banyak lagi permasalahan seputar pertanahan yang belum disinggung serta hal-hal dikemukakan diatas masih umum dan gamblang. Masih dapat diuraikan secara lebih mendalam dan spesipik dan teknis.

 Catatan:

Artikel singkat ini dibuat pada bulan Juli 2008 atas permintaan pengelola ”blog Pro Tapanuli” dan telah diposting di blog tersebut. Saya posting lagi diblog ini. Apabila ada data yang telah tidak sesuai itu karena belum di update.

Posted on 6 Juni 2014, in ARTIKEL. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar